Issue #9 : Windy Whispers

Sore yang malas. Selain kekuatan magis dan pertempuran-pertempuran tak wajar, tidak ada aturan yang mengharuskan mereka untuk berkumpul bersama, sungguh. Namun mereka sudah begitu terikat hingga sekadar duduk-duduk di perpustakaan pribadi Baekhyun yang terletak di lantai dua rumahnya adalah hal yang hampir tidak bisa dilewatkan. Tuan rumah di sini, melesak di sofa lembutnya. Mata fokus pada halaman-halaman kekuningan buku tua di tangan. Lu Han di sana, melangkah ringan di antara rak-rak buku raksasa yang menyembunyikan dirinya, belum menemukan buku yang benar-benar ingin ia baca. Tao, Xiu Min, Kyungsoo, dan Kai membentuk persegi di suatu sudut, berkerumun pada meja kecil dengan kue-kue kering dan cangkir-cangkir teh mewah di atasnya.

Sehun duduk di samping Baekhyun. Satu-satunya aktivitas yang ia lakukan hanyalah mengamati perbalahan kecil di depannya dengan sikap tertarik, mata sayu setengah mengantuk.

Di depan Sehun, Linnet dan Kris berdiri berhadap-hadapan. Barangkali kalau Linnet bisa meminjam sementara kekuatan Chen, kilat akan benar-benar menyambar dari matanya. Dan kalau Kris mempunyai sifat meledak-ledak khas Chanyeol, ia akan menunjukkan liukan-liukan api merah, juga di matanya.

“Berhenti bertingkah menyebalkan!” kata Linnet, mendongak agar bisa menatap tajam tepat di mata laki-laki yang jauh lebih tinggi darinya. Gadis itu berkacak pinggang, tangan kiri masih terbalut perban. Menutupi bekas kemerahan luka gigitan yang Sehun pikir terlihat menarik.

“Aku? Kau yang bertingkah seenaknya, Nona.” Kris melipat tangan di dada, menyadari perbedaan tinggi badan dirinya dengan Linnet dan menggunakan poin itu untuk sedikit menggertak.

Baiklah, barangkali bukan tingkah Kris saja yang membuat Linnet kesal. Lapisan rupa di wajah pria itu juga menyebalkan. Menyebalkan yang tidak terelakkan. Jenis menyebalkan yang membuatmu ingin melekatkan bagian alas sepatumu tepat di wajah itu dengan pukulan keras.

Aku?” Linnet membeo, meniru persis nada suara yang digunakan Kris, untuk mengejek.

Sehun menyeringai di tempatnya duduk.

“Ya. Kau. Satu, kau seenaknya melompat ke arah Lu Han dan Black Lu Han. Dua, kau seenaknya menggigit lenganmu sendiri. Dan―oh―kau pernah membiarkan Black Kai memukulmu! Tiga! Tiga kali berbuat seenaknya. Ha!”

“Satu, Lu Han berterima kasih padaku. Dua, aku tidak tidur dan portal aman. Tiga, argumenmu lemah dan aku benar-benar tidak bersalah. Oh, aku tidak merasa bersalah sedikit pun. Dan kau tidak berhak menyalahkanku. Ha!” balas Linnet sengit.

“Satu, kau terpental ke tanah. Dua, kau berdarah―Ya Tuhan! Tiga, kau pingsan.” Lalu Kris melanjutkan bahkan sebelum Linnet sempat membuka mulut untuk berkomentar, “Lain kali kau berbuat seenaknya lagi, Nona… Tidak, tidak perlu lain kali. Di pertempuran selanjutnya aku akan memastikan kau tidak berbuat ceroboh seperti itu lagi atau membuat dirimu terbunuh. Kalau perlu aku akan meminta Xiu Min membekukanmu di tepian.”

Di sini, si pemegang kendali kekuatan magis es menurunkan cangkir yang baru menyentuh bibirnya dan menoleh, memandang Kris dengan tatapan memprotes karena tidak mau terlibat.

“Ah, tunggu dulu, kau bisa membuat Dimensi dan tidak perlu ikut masuk. Kau bisa menjaga portal dari luar dan menunggu kami,” lanjut Kris, merasa puas dengan idenya.

Tapi si Pembawa Petunjuk tampaknya tidak menyukai ide itu. “Tidak akan. Aku ikut masuk. Dan kau tidak boleh mengatur hal-hal apa saja yang akan kulakukan atau tidak kulakukan.”

“Keras kepala,” Kris mendengus.

“Cerewet,” balas Linnet. “Kau bahkan bukan ibuku dan ibuku tidak secerewet itu.”

Di sini, Sehun terkekeh puas. Tiga orang dari empat-sekawan-perkumpulan-teh-sore menahan tawa sampai wajah mereka memerah. Kai seorang yang tertawa keras, bertepuk tangan dan menyerukan dukungan pada Linnet, “Way to go, girl!” Baekhyun masih pada bukunya dan Lu Han masih pada pencariannya.

Setidaknya sampai Kris mengedarkan pandangan menyeramkan yang kira-kira berarti jangan-ikut-campur-atau-kau-akan-mati-mengenaskan.

Toh Linnet tidak peduli. Gadis itu masih merasa kesal dan kesal membuatnya ingin merutuk atau paling tidak mengancam. “Aku bisa melemparkanmu ke Dimensi antah berantah dan tidak akan mengeluarkanmu, Tuan, kalau kau tidak berhenti bertingkah menyebalkan.”

“Oh, ya? Aku bisa―” Kris menahan napas, menelan sisa kalimatnya. Ia tidak akan mungkin melakukan menjatuhkanmu-dari-ketinggian seperti yang hendak ia ucapkan tanpa pertimbangan. Ia tidak mungkin melakukannya, tidak. Karena…

Kris merasakan seisi ruangan memandanginya. Bahkan Baekhyun mendongak dari bukunya. Kepala Lu Han menyembul dari balik rak buku. Oh, sial, Lu Han bisa membaca pikiran. Oh, sial, laki-laki mungil itu sudah tahu, jelas dari bagaimana satu alisnya terangkat. Oh, sial, Kris harus berhenti berpikir.

“Entahlah. Aku pulang.” Kris berderap ke luar ruangan, uring-uringan sendiri dengan menggerutu pelan. Tao dan Xiu Min yang menumpang mobil Kris menyusul, menambah bunyi langkah kaki menuruni tangga. Beberapa saat kemudian, derum mobil terdengar menjauh.

Yah, selanjutnya hanya terdengar cibiran Linnet tentang orang yang tiba-tiba kabur dan sebagainya dan sebagainya dan kalau ia juga memutuskan untuk pulang saja karena suasana hatinya memburuk.

“Mau kuantar?” kata Kai memaksudkan kekuatan teleportasinya, mengulurkan tangannya segala dengan sikap mengundang, yang―tentu saja―langsung ditepis oleh Linnet.

Maka Lu Han menawarkan hal yang sama. Katanya ia ingin membeli sesuatu di kota dan entah bagaimana Baekhyun melompat dari sofa dan berkata ia juga ikut. Bukunya berganti tergeletak begitu saja di lekukan bekasnya duduk. Kyungsoo mengangkat bahu, mengajak Kai pulang juga. Sehun heran mengapa Kai menyeret langkahnya mengikuti Kyungsoo daripada berteleportasi saja ke rumah.

“Sehun, titip rumahku, oke? Jangan rubuhkan dengan badai.”

Kemudian lima jenis langkah yang berbeda gaduh sekali mengetuk anak-anak tangga marmer.

Sehun mendapati dirinya sendirian, membungkuk membebankan berat tubuhnya pada pagar pengaman balkon. Matanya yang masih kuyu mengamati mobil Kyungsoo melaju diikuti sedan putih Lu Han meninggalkan areal pekarangan rumah Baekhyun menuju jalanan besar di bawah sana. Ia menggigil pada perasaan aneh akan ditinggalkan sendirian. Lalu memutuskan untuk mendengarkan angin saja.

Angin bersiul ketika memainkan rambut Sehun. Dan bernyanyi dalam nada berulang yang familier. Dan berbisik, “Kau hidup damai dan meninggalkannya sendirian. Dia akan menjemputmu dan mengajakmu kembali bersamanya. Dia tidak suka sendirian.

―–―

Entah bunyi pesawat terbang itu harusnya terdengar seperti apa, tapi mulut mungil Sehun menyuarakan raungan kecil sementara tangan kurusnya menggerakkan pesawat mainan plastik berwarna putih ke sana kemari. Kedua bola mata bocah itu tidak teralih dari badan pesawat sedikit pun. Tak lama Sehun berdiri, berlari-lari memutari ruang bermainnya biar pesawat itu bisa terbang lebih tinggi dan lebih jauh.

Pintu terbuka. Wanita muda yang cantik dan jenjang serta pria tampan yang penampilannya terlihat mahal masuk. Si wanita berkata dengan suara yang menyenangkan, seandainya saja apa yang ia katakan sama menyenangkan, “Sehun, Mama dan Papa berangkat dulu. Kau baik-baik di rumah bersama Maman, mengerti? Jangan nakal, oke?”

Ah, nyaris terlupakan. Maman, pengasuh Sehun, berdiri khidmat di dekat pintu. Tersenyum pada tuan kecilnya. Sedangkan si tuan kecil hanya menatap kosong selama dua detik ke arah wanita pengasuh yang  tidak lagi muda itu. Sehun menatap orang tuanya sedetik lebih singkat. Begitu saja ia kembali berlari-lari dengan mainan pesawat di genggaman tangan dan gerungan lembut terus meluncur dari mulut.

“Ngeeeeeeng...”

Pintu ditutup. Sehun berhenti sejenak, sekali lagi menatap Maman yang masih berada di tempatnya dan masih tersenyum. Lalu pasang mata kecil itu beralih ke pintu dengan ekspresi… yah, bocah ini tidak punya banyak ekspresi di wajahnya. Sebut saja ekspresi tidak peduli? Orang tuanya pergi lagi meski rasanya baru kemarin mereka kembali dari luar negeri. Sehun sudah terlalu biasa untuk dibilang terbiasa pada situasi seperti itu. Tidak mengapa, dunia kecil Sehun lengkap hanya dengan dirinya, keheningan, pesawat mainan, dan Maman. Ia tidak meminta banyak. Dan bocah kecil itu meneruskan penerbangan pesawat plastiknya, tinggi dan jauh.

Masalahnya pesawat yang dinaiki orang tua Sehun tidak terbang setinggi seharusnya dan sejauh seharusnya. Perubahan cuaca tiba-tiba, kata orang-orang. Badai menjatuhkan pesawat itu ke laut. Hancur, yang berarti pecah menjadi bagian-bagian kecil lalu dimakan ombak dan mungkin hewan laut. Tidak ada korban selamat.

Sehun masih terlalu kecil untuk mengerti mengapa tiba-tiba rumahnya ramai dengan orang-orang yang berpakaian serba hitam. Sebagian kecil mungkin saudara karena Sehun yakin pernah melihat wajah-wajah itu di suatu tempat, sebagian besar ia tidak tahu, dan tidak peduli juga. Kebanyakan dari mereka bersedih atau setidaknya memasang ekspresi sedih diaduk dengan prihatin. Sementara wajah Sehun masih sama saja, kau tahu, tidak punya banyak ekspresi.

Yang Sehun mengerti, mama dan papa pergi dan sepertinya mereka tidak kembali kali ini. Biarlah, toh Sehun masih punya dirinya, keheningan, dan Maman. Sehun tidak memainkan pesawatnya lagi karena tiba-tiba ia berpikir kalau pesawat itu lemah. Mudah hancur terkena belaian angin.

―–―

 Bocah yatim piatu itu diasuh Maman si pelayan setia. Beruntung harta peninggalan orang tuanya cukup banyak untuk menghidupi putra yang ditinggalkan itu bahkan mungkin sampai Sehun dewasa, kalau digunakan dengan bijak. Mereka hanya perlu memberhentikan sebagian besar karyawan di rumah Sehun, menahan tukang kebun dan satu pembersih rumah. Berempat tinggal bersama di sayap kanan rumah, sedangkan sayap kiri sengaja ditinggalkan dan tidak digunakan lagi. Kebun diserahkan sepenuhnya pada tukang kebun untuk ditanami sayuran dan buah-buahan, serta beternak hewan.

Sehun bertumbuh tanpa kesulitan berarti setelahnya. Tidak sepenuhnya meninggalkan dunia kanak-kanak, tapi sudah cukup besar untuk mengerti banyak hal. Ia mengerti bahwa orang-orang yang datang tempo hari tidak pernah datang lagi karena mereka tidak benar-benar peduli. Ia mengerti bahwa hanya Maman, dan tukang kebun, dan nona pembersih rumah yang peduli. Tapi tidak mengapa, karena sekali lagi Sehun menemukan dunia kecilnya lengkap. Ada dirinya, keheningan, tiga orang keluarga barunya. Dan wajahnya masih seekspresif sebelumnya.

Namun kemudian ia bertumbuh lagi. Menjadi mengerti bahwa Maman sudah terlalu renta, dan si tukang kebun sudah tidak bisa berjongkok terlalu lama untuk memupuk tanaman tanpa mengalami sakit pinggang, bahwa nona pembersih rumah benar-benar harus mengikuti suaminya berpindah ke pedesaan dan ke kehidupan yang lebih baik. Wilayah yang mereka tinggali menyempit lagi, tersisa satu kamar untuk masing-masing orang, dapur, dan ruang tengah. Biar tidak repot membersihkan, sebenarnya. Satu kali ini, Sehun pikir keheningan semakin mendominasi dunianya dan ia mulai merasa takut.

Ia takut menjadi sebatang kara.

Sampai suatu sore sepulang sekolah, Sehun mendapati sebuah sedan putih terparkir di halaman rumahnya yang masih tersisa, tiga perempat bagian kebun sudah dijual, omong-omong. Dua orang pria yang Sehun yakin lebih tua dari dirinya berdiri saja di teras. Maman pasti tidak dengar suara bel, pendengarannya memang sudah buruk. Si tukang kebun tua barangkali sedang pergi membeli kebutuhan sehari-hari hingga tidak ada yang mempersilakan dua orang itu masuk. Sehun berhenti di belakang punggung dua orang itu, tidak yakin harus berbuat apa supaya mereka menyadari kehadirannya. Ia berdeham.

Seorang menoleh, diikuti satunya lagi. Setidaknya wajah mereka baik , dan ramah, dan menyenangkan, meskipun asing. Oh, ya, dan cantik.

“Halo, aku Lu Han.” Seorang yang berambut cokelat gandum mengulurkan tangan. Sehun menatap ragu selama dua detik sebelum menyambut tangan itu.

“Aku Byun Baekhyun,” kata seorang lainnya yang berambut cokelat kacang.

Sehun bersalaman dengan pria kedua lalu mengenalkan dirinya dan mengajak mereka masuk meski ia mulai berpikir kalau mungkin saja dua orang ini pembunuh berantai dan membawa mereka masuk bisa membahayakan Maman. Yah, penampilan mereka tidak seseram itu.

Mungkin bukan pembunuh atau penjahat semacamnya, pikir Sehun kemudian. Mungkin hanya pemuda-pemuda gila.

“Sehun, katakan. Kau percaya magis?” tanya Lu Han setelah menyesap teh yang Maman suguhkan lima menit lalu. Entah mengapa terdengar terlalu bersemangat, mata pria ini berbinar-binar, dan terlalu ceria hingga Sehun berpikir ulang, barangkali taksirannya mengenai umur pria ini keliru. Tapi Sehun yakin ia tidak salah mengenai poin gila.

Di dunia beradab, tampaknya topik seabsurd ini tidak wajar untuk dibicarakan antara orang-orang yang baru mengenal selama beberapa belas menit. Sehun tidak menjawab.

“Percayalah. Magis itu ada. Kami tahu kau mengalami hal-hal aneh akhir-akhir ini―itu ulah magis!” Baekhyun angkat bicara.

Oke, sekarang setelah orang-orang ini menyebutkan hal-hal aneh, Sehun mendapatkan perasaan bahwa ia benar-benar mengalami hal-hal tersebut. Ia mendengar banyak hal dengan mudah, suara lirih dan jauh, seolah angin mengantarkan langsung rangsang-rangsang bunyi itu pada inderanya. Dan bisikan-bisikan yang Sehun tidak begitu mengerti namun ia biasa mengarang-ngarang artinya. Dan siulan, dan musik, ketika angin bertiup. Menimbulkan perasaan damai yang aneh dan menyenangkan seperti gemerisik daun. Lalu pernah suatu waktu Sehun mengibaskan tangannya di kelas dan semua kertas di seluruh meja berterbangan, jendela dan pintu tertutup rapat.

Sehun menggumamkan sesuatu tentang ada-sesuatu-yang-harus-aku-lakukan-setelah-ini-karena-yah-aku-sibuk, yang bila diterjemahkan kira-kira berarti usiran. Namun Sehun membela diri dengan beralasan entah pada siapa bahwa ia perlu waspada pada orang asing. Toh dua orang itu pulang dengan wajah kecewa.

Tapi esoknya mereka datang lagi, dan lagi, dan lagi. Kadang-kadang menambah rombongan menjadi tiga orang atau lebih. Ini Park Chanyeol yang kata mereka adalah seorang aktor tapi Sehun tidak tahu karena ia jarang menonton film―jarang di sini berarti nyaris tidak pernah. Ini Suho, Chen di sini, ada pula Lay. Serta deretan nama lainnya. Dan pertunjukan-pertunjukan mencengangkan yang mereka sebut dengan magis. Sehun adalah pengendali angin, kata mereka, dan ia pikir itu tidak buruk.

Sungguh, dunia kecil Sehun penuh. Terlalu penuh malah, hingga akhirnya ia mendepak keheningan dari dunia itu. Suatu waktu Baekhyun memanggilnya bocah tanpa ekspresi. Tapi suatu waktu Baekhyun tidak menggunakan panggilan itu lagi.

Ekspresi Sehun yang paling sedih adalah ketika Maman meninggal.

Baekhyun mengajak Sehun untuk tinggal dengannya di kota sebelah. Lu Han juga tinggal di rumah Baekhyun meskipun rumah keluarganya ada di kota yang sama. Dan karena Lu Han sudah dewasa serta merupakan warga negara dengan catatan yang baik, ia bisa menjadi wali Sehun. Maka ia pindah, menitipkan rumahnya pada si tukang kebun dan berjanji pada laki-laki tua yang sudah seperti ayahnya itu untuk mengunjunginya setiap kali ada kesempatan.

Sehun juga memindahkan pendidikan formalnya ke sekolah atas tempat Kai, salah satu teman barunya, bersekolah. Ia mengemban tugas mengawasi seorang gadis di kelasnya yang menurut kuasa Lu Han adalah makhluk magis sama seperti dirinya.

Dunia Sehun terlalu sesak untuk memikirkan ketakutannya mengenai menjadi sebatang kara.

―–―

Belakangan ini tampaknya hidup Sehun terlalu bising. Dengan Chanyeol menghapalkan naskah film barunya di rumah Baekhyun. Dengan unek-unek Linnet mengenai perang dinginnya melawan Kris di sekolah. Dan banyak basa-basi dengan teman-teman sekelas yang awalnya mengecap Sehun sebagai anak pendiam namun mulai mendekatinya setelah ia dan Linnet bersahabat. Belum lagi bisikan-bisikan angin itu, sama dan berulang.

Kau hidup damai dan meninggalkannya sendirian. Dia akan menjemputmu dan mengajakmu kembali bersamanya. Dia tidak suka sendirian.

Sebuah tepukan di bahu mengagetkan Sehun ketika ia sedang duduk di bangku kafetaria sekolah, menyeruput minuman di gelas plastik dan berkonsentrasi mengabaikan bisikan-bisikan angin. Sehun menoleh, laki-laki berkulit agak gelap melayangkan seringai lalu duduk di kursi kosong sebelah.

“Yo!”

Sehun hanya mengangkat alisnya untuk membalas sapaan Kai. Ketika ia kembali mengarahkan pandangannya ke depan, entah bagaimana kursi di seberang meja sudah terisi. Linnet duduk dengan tenang, berkata dengan tenang, “Mau roti? Aku salah beli yang ada wijennya. Aku tidak suka wijen.”

Sehun menggeleng. Maka Kai menyambar bungkusan yang disodorkan Linnet dan langsung melahapnya. Di sela-sela kegiatan makannya, Kai berkata, “Bagaimana kabar Kris?”

“Tetap menyebalkan.” Ada perubahan air muka ketika Linnet berkata, Sehun menyadari hal itu. Gadis itu benar-benar sebal rupanya.

“Panggil aku kapan pun kalian butuh arbitrator, oke?” kelakar Kai.

Linnet terkekeh, “Kalaupun aku membutuhkan satu, aku akan memilih seseorang seperti Suho, Senior.”

“Paling-paling ia hanya akan memarahi kalian berdua dan memerintahkan untuk berbaikan. Bersalaman dan meminta maaf, yah, hal seperti itu,” timpal Sehun. Dan membayangkan si ketua marah-marah seperti kakek-kakek serta Linnet dan Kris bersalaman setelah saling meminta maaf seperti anak kecil membuat mereka bertiga terbahak.

Linnet yang pertama berhenti tertawa.

“Linnet?”

Gadis itu mengernyit menahan pening yang akrab. Ia berkata lirih, “Sehun, mengapa aku merasa seperti angin bicara padaku?”

―–―

Ada sedikit kesalahan dalam pemilihan tempat di sini. Terlalu banyak pasir. Dan pasir yang tidak berada di tempat ia seharusnya berada, menempel di tanah, adalah pasir yang merugikan. Ketika Black Sehun muncul dengan raungan mengerikan, semua pasir terangkat di udara. Badai pasir, lebih jelasnya. Kau akan menemukan dirimu kesulitan membuka mata di sana. Dan ketika kau membuka mata, satu-satunya yang bisa kaulihat adalah pasir-pasir yang dipermainkan angin.

“Aku tidak bisa melihat kalian!”

“Kawan-kawan? Kalian di sana?”

“Linnet! Linnet! Kau dengar aku? Tetap di tempat, aku ke sana. Terus bicara biar aku tahu tempatmu berada.”

“Err.. Kris, kurasa aku tepat di sebelahmu.” Kemudian si Pembawa Petunjuk merasakan sebuah tangan mencengkeram tangannya dan bahwa tubuhnya ditarik ke suatu arah. Linnet membuka mata sedikit. Ia melihat samar-samar wajah Kris di balik tebalnya angin berpasir. Tapi berhubung matanya perih, Linnet mengatupkan kelopak matanya lagi. “Gencatan senjata, eh?”

Kai membatu di tempatnya berdiri. Ini buruk. Berada di tengah-tengah badai seperti ini membuatnya merasa terjebak. Merasa tidak bisa pergi ke mana pun. Tidak bisa pergi ke mana pun! Ha! Ironi buat si penipu spasi. Setidaknya kemudian Kai merasakan beberapa orang meraihnya.

“Kurasa lebih baik kalau kita mengelompok.”

Mereka membuat kelompok-kelompok kecil. Meraih-raih dalam kebutaan untuk mencari kawan mereka. Lalu begitu dapat, berpegangan erat satu sama lain biar tidak diterbangkan angin. Empat orang di sana, tiga di sini, tak jauh di sebelah sana dua orang, sisanya di dekat sini.

“Mana Sehun?” teriak Suho bersaing dengan deru angin.

“Mungkin bersama yang lain.”

Masalahnya, yang lain juga menanyakan hal yang sama. Mana Sehun?

―–―

Sehun mendengar teriakan-teriakan panik teman-temannya, tadi. Kemudian tidak lagi. Setelah itu hanya terdengar raungan-raungan liar angin. Kalau diurai satu per satu raungan itu berupa bisikan. Namun bisikan itu terlalu banyak dan terlalu keras, bertumpuk dan bertubrukan jadi desing-desing tidak keruan.

Dia di sini. Dia di sini.

Sehun berdiri seorang diri. Tidak berpegangan pada apa pun selain dirinya sendiri. Tidak ada Maman di sini. Teman-teman barangkali ada di sekitar sini, tapi tidak juga. Ia dikelilingi dinding-dinding badai dan benar-benar merasa sendiri.

Oh, halo. Dari mata Sehun yang menyipit terlihat sebuah sosok. Sehun yakin bukan pasir yang mengaburkan penglihatannya sampai-sampai makhluk itu terlihat begitu legam. Dan, oh, betapa persisnya sosok itu dengan dirinya. Tidak, tidak―meskipun benar memang tiap sudut tubuh itu adalah jiplakannya. Tapi apa yang membuat Sehun merasa dirinya dan makhluk itu sama adalah matanya. Tidak, tidak―bukan mata secara harfiah. Tapi dari mata bolong yang entah bagaimana terlihat sayu itu terpancar kesedihan yang sama. Perasaan aneh akan ditinggalkan, dan kemudian orang-orang datang namun mereka tidak tinggal, dan kau punya beberapa orang setia di sisimu tapi mereka harus pergi juga suatu waktu. Lucunya manusia memang pada dasarnya selalu sendirian. Betapa malang, betapa malang. Sehun pikir makhluk di seberang sana juga begitu kesepian.

Pada saat yang bersamaan mata itu seolah memohon. Pada siapa lagi kalau bukan padanya. Ada satu bisikan yang berbeda, terdengar begitu terburu-buru namun dibisikkan dengan lembut. Jangan biarkan aku sendirian. Sehun melihat tangan makhluk itu terulur, dan tanpa sadar kakinya mulai melangkah.

―–―

Susah payah Linnet membuka matanya. Satu per satu dan oh, berat sekali. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya berulang-ulang mengusir sebutir debu yang masuk. Lalu sekonyong-konyong badai mereda sedikit, atau barangkali matanya saja yang sudah terbiasa. Tapi ia bisa melihat dengan lumayan jelas, yang berarti sebenarnya hampir sama saja dengan tadi namun sudah lebih baik. Ia melihat jari-jari panjang Kris masih melingkari pergelangan tangannya dan Chen memegangi lengan Kris yang satu lagi. Lalu ketika ia memutar lehernya ke suatu arah, ia melihat teman sekelasnya.

Tapi apa yang dilakukan bocah itu? Berjalan ke pusaran angin? Gila! Ia bisa tersedot lalu terlempar ke suatu tempat dan mungkin mendarat dengan beberapa tulang patah, kalau beruntung.

“Lu Han, Lu Han. Jawab aku,” Linnet mencoba meraih benak Lu Han.

“Aku di sini. Ada situasi?” suara Lu Han memenuhi benak Linnet.

“Apa yang Sehun pikirkan? Ia berjalan ke pusaran angin!”

Hening selama beberapa saat.

“Ilusi psikis! Kita harus menariknya dari alam bawah sadar.”

“Oke, apa pun artinya itu. Roger!”

“Tunggu, Linnet, apa yang kau―”

Linnet tidak mendengarkan Lu Han lagi ketika ia berkonsentrasi melawan angin yang begitu kencang menubruki badannya hingga meskipun ia berhasil membuat satu langkah, ia akan mundur beberapa inci―ia juga tidak mendengarkan erangan Kris yang mencoba menggapai-gapainya setelah genggamannya dilepas paksa oleh Linnnet. Ia harus bergegas.

Saat ia sampai, sepertinya sudah tidak sempat.

“Sehun! Sehun! Kau dengar aku―tunggu, aku terdengar seperti Kris. Sehun! Halo?” Linnet berteriak-teriak seperti gila di depan Sehun. Tangannya mencengkeram lengan Sehun, setengah bertujuan untuk menyadarkan Sehun dengan mengguncang-guncangkan tubuh lelaki itu, setengah untuk berpegangan. Karena pusaran angin hampir berada tepat di belakang punggungnya dan tubuhnya mulai tertarik. Oh, dan perburuk saja semuanya, Sehun masih meneruskan langkahnya. Mendorong Linnet semakin mendekati pusaran. Mata toh menatap lurus ke pusaran atau ilusi, barangkali. Sendu dan lengang. Ia tidak menyadari keberadaan Linnet sama sekali. “Sehun! Sehun!”

Kaki Linnet mulai terangkat dan tak lama tubuhnya melayang, horisontal. Satu-satunya yang membuatnya belum tersedot adalah pegangannya pada lengan Sehun. Tapi Linnet pikir, tak lama lagi Sehun bisa ikut tersedot dengannya. Jadi barangkali… ia harus melepaskan tangannya. Sepatu Linnet terlepas sebelah dan masuk ke pusaran. Linnet memejamkan mata, dan melonggarkan cengkeraman tangannya. Mungkin pusaran itu hanya meminta satu korban. Selamat-tinggal-dunia-terima-kasih-untuk-hidup-yang-menyenangkan dan Linnet melepaskan tangannya.

Syukurlah seseorang menarik tangan itu dan tidak pernah melepaskannya.

Ketika Linnet membuka mata, ia berada di dalam pusaran angin yang tampak tidak jahat dan Sehun memeganginya. Mata menatap sepenuhnya sadar. “Linnet, kau tidak apa?”

“Lumayan. Tadi itu mengerikan. Omong-omong, kita ada di―”

“Pusaran anginku.” Sehun menyeringai. “Lihat, di sebelah sana pusaran angin yang tadi hampir menyedotmu.”

“Baiklah. Di sini ada terlalu banyak angin. Di mana Black Sehun?”

“Di dalam pusaran angin itu, atau dialah pusaran angin itu.”

“Lalu, apa yang akan kaulakukan terhadapnya?”

Linnet mengernyit pada ekspresi Sehun yang terlihat sedikit terlalu riang ketika laki-laki itu berkata, “Ayo kita tabrakkan pusaran anginku dengan pusaran anginnya. Aku sudah mendapatkan izin ketua lewat Lu Han. Lihat, teman-teman kita berlindung di benteng es Xiu Min di sana. Mereka bilang mereka akan menyerahkan yang kali ini semuanya padaku.”

“Kau yakin?” Linnet memasang ekspresi ngeri di wajahnya. Tabrakan dua pusaran angin besar dan dia ada di dalam salah satunya. Kedengarannya sangat menyenangkan, kalau kata ‘mematikan’ masih terlalu hambar untuk mendeskripsikan.

“Berpeganganlah. Akan ada banyak guncangan.”

Linnet lekas mengeratkan pegangannya pada Sehun dan memejamkan mata lagi. Dan hanya mengangguk ketika Sehun berbisik padanya, “Omong-omong, terima kasih banyak. Berkat kau aku tersadar. Perasaan tidak menyenangkan saat kau melepaskan tanganmu dan… hendak meninggalkanku tadi, yang menyadarkanku. Berjanji tidak meninggalkanku sendirian lagi?” Sayang sekali Linnet tidak melihat ekspresi wajah Sehun saat mengatakan itu. Koleksi ekspresi wajahnya bertambah satu lagi.

“Oh, ya. Kris akan memarahimu lagi nanti karena kau berbuat seenaknya.”

Lalu dua pusaran angin itu bertabrakan.

―–―

”Nona, kau meninggalkan sesuatu.”

Linnet berbalik dan menyadari benda kecil yang tadi terlepas disodorkan oleh Kris. Gadis itu meringis. Ia menghampiri Kris dengan terpincang, selisih alas kaki setebal satu senti saja bisa begitu menyiksa. “Terima kasih.” Linnet mengulurkan tangannya, hendak menerima sepatunya kembali. Dan kalau beruntung, menghindari ceramah si penerbang itu.

Tapi agaknya Kris tidak semurah hati itu. Ia menarik sodoran tangannya, mengangkat tangan itu tinggi-tinggi hingga Linnet tidak bisa menjangkau. Kris menatap tajam pada Linnet. Dengan dahi berkerut dan ekspresi serius aku-tidak-main-main, ia berkata, menekankan setiap suku katanya, “Kau berbuat seenaknya lagi.”

Linnet mengerang. “Tidak. Kemarikan sepatuku.”

“Kau bisa mati, tahu.”

“Aku baik-baik saja.”

“Kau bisa mati.”

“Nyatanya tidak. Kemarikan sepatuku.”

“Keras kepala,” gerutu Kris. Kemudian pria itu berlutut, memakaikan sepatu Linnet dan tidak berhenti menggumam kesal, “Lain kali aku benar-benar akan membuat Xiu Min membekukanmu di pinggiran.”

“Cerewet.”

Yang ada, di pinggiran, Kai tertawa terbahak-bahak sementara Sehun tersenyum dengan ekspresi barunya dan Xiu Min memberondongkan protes karena ia tetap tidak ingin terlibat.

8 Comments

Filed under chaptered, EXO, ff

8 responses to “Issue #9 : Windy Whispers

  1. baca judul -> aaaaa sehunnie! pasti sehunnie! *eh
    ngakak waktu baca bagian ‘Lapisan rupa di wajah pria itu juga menyebalkan.’ dan seterusnya~ terus asli kris sangat-menyebalkan-sekali. minta ditampar.
    sehun kecil! kyaaaaa!! sehun kecil! *bahagia sambil membayangkan *kemudian sedih* dan tetap muka tembok. urfa mana urfa~
    baekhyun-luhan waktu datang ke rumah sehun kayak sales. ‘anda percaya magis? pernah merasa memiliki kekuatan ajaib? produk ini cocok untuk anda!’ gitu.
    suka perang internalnya kris sama linnet :))

    • sehuu~un
      heheh. jangan bilangin rona, oke?
      jangan bilangin urfa juga, aku dibunuh nanti.
      hahahah bener juga, ga kepikiran malah sales baekhan hahahah.
      aku juga suka perang mereka~

  2. sumpah ngakak pas baca bagian Maman jadi pengasuh Sehun. kukira kamu typo gitu, ada pengasuh sehun, ibu-ibu dipanggilnya Mama, tapi kamu kena typo jadi Maman. eh taunya .___.

    daaan….. plis plis tambahin scene linnet berantem ama kris hahaha. itu epic seepic-epicnya haha.
    ditunggu lanjutannnyaaaa XD

  3. Kenapa namanya Maman? XD
    Dari semua part aku paling suka kisah Sehun. Entah kenapa berasa banget nyeseknya kalo ditinggal sendirian ._.
    Cieeee Kris-Linnet loveline kan ya? XD

Leave a comment